Hidup

Ulang Tahun? Hanya Hari Di Mana Kita Belajar Tentang Usia dan Pasrah

Di ultah ke-35 kemarin, banyak yang mengucapkan selamat. Meskipun udah nggak perlu lagi pake acara tiup lilin di atas kue dan nyanyi “Panjang Umurnya”, saya tetap bersyukur. Apalagi pas adik laki-laki – dengan separuh bercanda – bilang begini:

“Jatah hidup lo berkurang setahun.”

*krik…krik…krik…*

Jangan bilang dia kurang ajar dulu, karena dia memang benar. Apalagi, semakin bertambah digit usia kita, waktu kita sudah tidak lagi sebanyak dulu. Berbeda dengan waktu kecil, saat ultah selalu menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu.

Waktu Kecil?

Sewaktu kecil, banyak yang memberi semangat positif saat ultah. Semoga panjang umurnya. Semoga tumbuh menjadi anak yang berbakti pada orang tua, cerdas di sekolah, dan berguna bagi bangsa…dan seterusnya. Pokoknya, yang baik-baiklah. Nggak mungkin ‘kan, ngomong ke anak kecil kalau setiap ultah, berarti waktu mereka hidup di bumi berkurang setahun? Yang ada malah bikin mereka nangis lagi.

Saat ultah bagi seorang anak memang selalu penuh harapan dan pengingat. Kamu udah tambah gede, harus lebih pintar, blablabla… Selain itu, ada juga tambahan keceriaan berupa kue, kado-kado, permainan, hingga saat bersama keluarga dan teman-teman. Pokoknya, yang bagus-bagus.

Waktu Remaja?

Tergantung dengan teman-teman macam apa kita bergaul. Yang aji mumpung biasanya pada nodong traktiran. Ada juga yang cukup kejam, melempari yang ultah dengan telor dan tepung, serta entah apa lagi. (Ini sebelum para orang dewasa menegur bahwa perbuatan itu memboroskan makanan dan nggak peka sama yang nggak berkecukupan.)

Teman-teman yang benar-benar baik justru yang memberi kado, entah masing-masing atau patungan. Lalu kita akan bersenang-senang dengan mereka. Ada yang ke kafe, jalan seharian di mal, nonton film, dan masih banyak lagi. Ada juga yang memilih makan-makan sederhana di warung. Yang penting, kebersamaan dan saling berbagi.

Waktu Dewasa?

Mungkin masih ada yang menganggap perayaan ultah itu penting. Ada juga yang lebih banyak merefleksi diri. Apa sih, yang sudah dicapai selama ini? Benarkah kehadiran kita sudah membawa manfaat yang cukup banyak bagi diri sendiri maupun orang lain?

Nggak usah jauh-jauhlah. Sudahkah kita membahagiakan orang tua kita? Sulit, meskipun menurut kita mereka orang tua paling sempurna di dunia. Membalas semua jasa mereka tidak akan cukup, bahkan hingga di akhir hayat.

Selain itu, banyak yang mulai enggan diingatkan soal ultah mereka sendiri. Perempuan lajang di atas usia 30 mungkin malas, karena orang pasti akan mengaitkannya dengan pertanyaan: “Udah nemu calon pendamping hidup, belum? Hayo, jangan lama-lama!” 

Seakan-akan ada yang kurang dengan diri mereka, sehingga merasa tidak berharga. Padahal, nggak perlu begitu juga, bukan?

Ada yang mungkin mulai panik, karena bucket list mereka belum dicentang semua. Belum traveling ke negara-negara incaran. Belum bisa beli mobil dan rumah. Belum punya usaha sendiri.

Belum, belum, belum…

Bukan selalu karena selama ini mereka membuang-buang waktu. Banyak faktor lain bermain di sini. Biaya, kesempatan, hingga masalah prioritas. Daripada membanding-bandingkan diri dengan orang lain, bertambahnya digit usia harusnya bisa disikapi dengan lebih bijak, seperti:

Belajar pasrah…

Ya, belajar menerima kenyataan. Semangat boleh muda, namun tubuh tidak lagi segesit biasanya. Belajar pasrah saat alarm di tubuh menjeritkan “Sakit!” atau “Capek!” agar berhenti memaksakan diri. Belajar berhenti bermain sebagai superhero. Sayang ama orang lain boleh, tapi jangan lupa memperhatikan diri sendiri.

Belajar pasrah bahwa kita nggak akan pernah bisa membuat seluruh dunia menyukai kita. So what? Biar saja bila ada yang mencela kita sebagai pribadi yang kelewat serius dan nggak bisa diajak bercanda ‘gaya mereka’. Jika mereka mengaku dewasa dan berpikiran terbuka, harusnya nggak marah terus ngambekan dong, kalau kita kebetulan lagi nggak sepakat?

Mama adalah salah satu perempuan cerdas dan bijak dalam hidup saya. Menurut beliau, kadang diam adalah pertahanan terbaik. Kita tidak perlu selalu berkoar-koar bahwa kita benar. Lakukan saja apa yang kita bisa, semampunya. Biarkan mulut-mulut nyinyir menghina. Cukup menunggu saja.

Menunggu apa?

Menunggu mereka melakukan hal yang sama, ‘cacat’ yang dulu mereka pernah tudingkan dengan lantang ke muka kita.

Contoh: mereka yang pernah usil mengomentari berat badan saya ternyata marah begitu ada yang usil dengan pilihan gaya hidup mereka. Selain itu, mereka yang pernah mengejek saya sebagai sosok lamban dalam mencerna gurauan, ternyata jauh lebih sensitif daripada yang selama ini mereka bangga-banggakan…

Diam itu nggak selalu lemah. Diam itu adalah bijak dalam menghemat tenaga, pikiran, dan perasaan – termasuk nggak meladeni perdebatan kelas ‘kanak-kanak’. Dengan demikian, digit usia kita bukan cuma angka…

RR.

One Response

  1. asrindra b. wibowo 14 Desember 2017

Leave a Reply