“Jangan kayak gitu, ah. Ntar gak punya temen, loh.”
Pernah atau sering dengar ancaman macam ini waktu kecil? Entah dari ortu, guru di sekolah, sampai dari anak-anak sebaya lainnya. Ancaman ini pasti pernah bikin kita ketakutan. Habis itu, lantas kita buru-buru berubah sikap agar ketakutan tersebut tidak terbukti.
Alasannya bisa macam-macam. Bagi orang tua dan guru waktu itu, mungkin kita termasuk nakal, tidak ramah, atau punya sifat kurang menyenangkan lainnya bagi mereka.
Memang benar sih, bila ternyata ada anak-anak yang enggan bermain bersama kita. Gimana ya, kalo kelakuan kita sendiri membuat mereka merasa nggak nyaman?
Lalu, gimana kalo kritik tersebut datangnya juga dari anak-anak sebaya? Bisa jadi alasannya sama, sikap kita kurang menyenangkan buat mereka. Eh, tapi ternyata nggak selalu gitu, loh. Bisa jadi malah sebaliknya.
Ada juga anak-anak yang mengkritik kita justru karena mereka ingin kita seperti mereka, meskipun belum tentu kita merasa nyaman.
Misalnya: harus memakai sepatu merk tertentu agar diterima bermain di kelompok mereka. Ada juga yang menganggap kita membosankan karena terlalu menurut sama guru di sekolah.
Padahal, belum tentu orang tua kita sanggup membelikan sepatu merk tersebut karena mahal. Kalau pun sanggup, belum tentu mereka mau bila tahu alasan kita hanya untuk diterima bermain bersama anak-anak seperti itu.
Semua Orang Masih Bisa Punya Teman
“Dia suka jahat sama aku, tapi kok temannya lebih banyak, yah?”
Sering merasa seperti ini? Mungkin banyak yang mengira kejadian semacam ini hanya ada di film-film Hollywood ber-setting SMA macam “Mean Girls”.
Premis standar tentang si anak yang dianggap ‘biasa-biasa aja’ versus geng populer di sekolah yang ternyata jahat dan tukang bully. Anehnya, mereka begitu memukau banyak orang sehingga tampaknya begitu disukai.
Akan tetapi, bukan nggak mungkin kejadian serupa ada di dunia nyata. Kalo udah begini, mungkin kita bakal bertanya-tanya:
Apa iya, bersikap baik itu masih ada gunanya?
Buktinya, yang jahat-jahat ternyata masih bisa punya teman…banyak lagi. Sementara, yang baik-baik dan berusaha menghindari drama malah lebih sering di-bully atau dikucilkan.
Cek Dulu: Teman-teman Macam Apa yang Mereka Punya?
Sebelum merasa putus asa duluan, cek dulu. Seperti apa teman-teman si jahat? Apakah mereka sebenarnya baik tapi sabar dengan ulahnya? Apakah mereka buta dengan kelakuannya? Atau…jangan-jangan mereka juga sama jahatnya?
Beginilah kalau yang terlihat hanya kuantitas, bukan kualitas. Kita nggak pernah benar-benar tahu seperti apa pertemanan mereka.
Frekuensi Pertemanan dan Teman Sefrekuensi
Dulu, mungkin teman-teman baik adalah mereka yang (harus) hampir selalu ada buat kita. Ekspektasi ini juga kerap dipengaruhi oleh film-film Hollywood bertema persahabatan.
Tahu ‘kan, saat si tokoh utama sedang sedih dan menelepon sahabat-sahabatnya, nggak lama mereka langsung berdatangan untuk menghibur.
Ajaibnya, kalau dalam film, sesibuk dan sejauh apa pun mereka, teman-teman selalu punya waktu untuk berkumpul dengan si tokoh utama ini. Kayak lagu “One Call Away” – nya Charlie Puth. Mantap, dah!
Pada kenyataannya, nggak semua hal harus tentang kamu.
Dunia nggak hanya berputar di sekitar kamu. Teman-temanmu juga punya keperluan sendiri, masalah sendiri, dan hal-hal lain yang belum tentu (harus) melibatkan kamu.
Jadi, kok kayaknya seperti anak kecil bila masih menyindir ketidakhadiran mereka, menganggap mereka sudah abai dalam menjaga kontak dengan kamu. Ya, apalagi lewat status atau meme semacam ini di media sosial:
“Teman sejati pasti akan mencoba meluangkan waktu, sesibuk apa pun mereka.”
Yaah…jangan bikin teman-temanmu merasa bersalah karena sibuk, dong. Siapa tahu saat ini mereka memang sedang tidak bisa mendampingi kamu, bukan sengaja nggak mau ketemu.
Ada beda antara frekuensi pertemanan dengan teman sefrekuensi. Bila yang satu ngomong soal kuantitas, maka satu lagi perkara kualitas.
Nggak jauh, nggak dekat, mau lagi sibuk atau lowong, teman sefrekuensi nggak akan mudah ke mana-mana. Meskipun sama-sama sibuk dan sempat lama nggak kontak, ya nggak jadi masalah.
Karena begitu kontak-kontakan lagi, rasanya bisa kayak hanya baru pisah kemaren. Pernah kayak gitu, nggak? Tinggal melanjutkan obrolan kemarin yang lama terputus. (Itu pun kalo masih inget, hehehe…)
Kadang sahabat paling baik pun nggak bisa selalu ada untuk kita, meskipun ingin. Selain sedang sama-sama sibuk, mungkin juga sedang sama-sama lelah. Mungkin juga sedang sama-sama kena masalah, sehingga bantuan mereka sedang tidak bisa diharapkan.
Doa saja sebenarnya sudah cukup membantu lho, meskipun hasilnya belum tentu bisa langsung didapat.
So…
Nah, daripada berharap semua teman akan selalu memahami kita, mending mulai tanyakan ini pada diri sendiri:
Mau jadi teman macam apa kita? Yang berkualitas karena benar-benar satu frekuensi – atau harus sering ngumpul, namun tanpa kedekatan yang berarti?
RR.
Ceritanya kok sama dengan yg sy alami. Apalagi cerita sepatunya. 😭 Saya jadi ingin menuliskan kisah saya juga. Mau tukar backlink?
Monggo mbak dituliskan kalau memang mau. Makasih juga kalau mau kasih backlink ke sini, tapi belum tahu alasan kenapa kami harus kasih backlink ke sana juga? Ada reason?
Aku LBH milih temen sedikit tp bener2 berkualitas :). Dari dulu temenku sbnrnya ga banyak, apalagi aku tipe ga suka terlalu bergaul dengan org yg belum dikenal. Tp temen2 yg sedikit itu, beneran temen yg bisa sefrekuensi Ama aku. Kita hobinya sama, sepemikiran, bisa saling tenggang rasa. Tp yg terpenting, kita bisa saling kritik tanpa sakit hati.
Temen yg baik buatku mau ingetin temennya, bukan cm bisa ngeluarin kata2 manis doang :).
Punya temen banyak, tp ga bisa dipercaya, malah sering bikin sakit ati ujung2nya 😀
yang terakhir menohok sekali…
sekarang circle pertemanan makin kecil. sampe sekarang masih punya temen lama, sal temen sefrekuensi. meskipun udah jarang komunikasi dan ketemu, begitu ketemu, pasti jadi banyak hal yang bisa diceritakan
Biasanya memang akan mengerucut dengan sendirinya ya.
Lagi ada di fase berteman dengan yg nggak sefrekuensi dan cuma ngitung kuantitas. Sebenarnya nggak ada yg salah sama mereka cuma gaya pertemanan aja yg berbeda, aku gak telalu suka bnyak interaksi dengan bnyak orang( introvert) sedangkan mereka bakal capek kalo gak bnyak interaksi dengan orang. Jdi mrek bsa ngabisin waktu dengan keramaian kyak karaoke berjam2, selfie, tiktokan dan yg lainnya, yg sama sekali aku gak ngerti. Tiap abis kmpul sama mereka rasanya beneran capek. Tpi kdang segan juga nolak terus biar gak ikut kumpul, lama2 ketauan bo’ongnya. Yg ngeselin kalo ketauan mama gak pngen main sma merka, psti bkal dibilang “ntar kamu gk pnya tmen loh”. Pdhal aku jg pnya tmen dri smp yg bisa kumpul dengan tenang, dan gak buat aku capek setelag main. Maaf pak, jdi curhat
Gak apa2.