Kerja Hidup

Apa yang Dicari di Ibukota? Sebuah Tulisan Tentang Kejamnya Ibukota

Hi, Randomers. Mimin mendapatkan kiriman artikel dari salah satu teman mimin. Dia ingin berbagi kisahnya selama kerja merantau di ibukota Jakarta ini. “Apa yang dicari di Ibu Kota? Sebuah Tulisan tentang Kejamnya Ibukota” ini menarik banget buat mimin.

Apa benar ibukota itu sedemikian kejam? Ataukah sebenarnya ada kisah lain di balik pengalamannya ini? Simak langsung aja ya…


Lima tahun sudah kulalui sebagai perantau di ibu kota ini. Lima tahun dengan polusi udara, kemacetan yang tiada habisnya, orang-orang yang datang silih berganti serta status yang masih sendiri.

Kata orang-orang ibukota lebih kejam daripada ibu tiri. Karena aku belum pernah punya ibu tiri, namun telah tinggal di ibu kota ini bertahun-tahun. Peribahasa itu benar adanya.

Kejamnya ibukota telah aku rasakan namun tidak menyesalinya.

Kerja yang Berpindah-pindah dan Sempat Menjadi Pengangguran

mencari kerja di jakarta

Satu tahun pertama sebagai warga ibu kota aku bekerja di sebuah perusahaan holding yang memiliki beragam bisnis. Dengan posisi sebagai asisten manager dan penghasilan cukup, aku merasa bahagia dan senang sekali.

Tahun itu pula aku bepergian ke mana pun aku suka, baik ke dalam maupun keluar negeri. Akupun menabung dengan baik dan bergaulpun dengan baik pula.

Setelah setahun aku merasa tidak betah di tempat ku bekerja dikarenakan terlalu banyak ikut campurnya keluarga pemilik perusahaan ini. Yang masih anggota keluarga atau kolega bisa digaji lebih besar tanpa kompetensi apapun.

Sedari awal aku menyadari ini, namun ketika aku tau harus membangun karir dan harus kuat berada di ibukota, bekerja di perusahaan itu tetap aku jalani.

Resign dan Kena Tipu “Teman”

Tahun kedua aku memutuskan resign, setelah seorang temanku menawari bekerja di perusahaannya. Setelah resign, ternyata aku ditipu oleh temanku.

Tidak jelas bekerjanya apa, setiap hari kami hanya mengunjungi cafe, restoran, tempat makan yang akupun juga tidak mengetahui bertemu dengan siapa.

Tiga bulan berlalu, gajiku tidak dibayarkan oleh temanku. Dia menghilang seiring dengan waktu ramadan dan puasa yang semakin dekat. Masih untung aku memiliki tabungan yang masih cukup dipakai untuk mudik lebaran dan memberikan uang rutin kepada ibuku,

Kesalahan terbesarku mempercayai teman yang memang ku tau dari desas desus bahwa reputasinya buruk.

Sayangnya saat aku menerima tawarannya itu, aku belum punya bukti tentang reputasinya.

kena tipu teman

Sebulan kemudian aku mendapatkan tawaran pekerjaan lainnya dari teman satu komunitas, sepertinya yang ini jelas kerjanya. Aku senang sekali bisa diterima bekerja kembali walaupun gajinya jauhh dari gaji yang pernah kudapatkan.

Sebulan, dua bulan kujalani ternyata aku salah. Pekerjaannya juga tidak jelas, dan gajiku dibayar dengan dicicil. Aku sedih sekali meratapi nasib saat itu. Namun aku tidak bisa berbuat banyak. Segala lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan telah aku coba, namun belum ada hasil.

Setahun lamanya aku mencoba bertahan dengan gaji yang dicicil ini. Aku tidak pernah menceritakan kesulitan ini kepada orang-orang sekitarku. Masih bisa makan dan bayar kontrakan saja aku udah bersyukur banget. Setahun setelah berada di sana, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain yang lebih baik.

Curhat yang Tidak Selalu Berakhir Menyenangkan

Selama tiga bulan aku menganggur, sejujurnya uang tabunganku masih ada, namun tekanan dari orang tua selalu membuatku membatin. Selama ini aku tidak pernah menceritakan masalah pekerjaanku. Namun saat itu aku merasa perlu untuk menceritakan.

curhat yang gak didengarkan

Ternyata aku salah, menceritakan hal ini ternyata bukannya mendapatkan dukungan, tapi aku malah mendapatkan sesuatu hal yang tidak menyenangkan secara verbal. Rasanya aku memang harus mengelus dada sendiri.

Hampir dua tahun aku luntang lantung di ibukota ini tanpa pekerjaan yang jelas, Namun rasanya allah begitu baik padaku, aku selalu dicukupkan kebutuhannya.

Aku masih bisa bergaul dengan komunitas, masih bisa mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, dan sesekali masih bisa berwisata bersama teman-teman. Hingga akhirnya aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak seperti sekarang ini.

Ya ibukota memang kejam menurutku, jika kita tidak pintar mengatur keuangan, jika kita pintar memilih teman kita akan terperosok ke dalam lubang yang dalam. Belum tentu orang-orang sekitar mau peduli dengan kita.

Anak Gaul Jaksel di Masanya

menjadi anak gaul jaksel

“Dia mah anak gaul, gampang banget buat dapatin temen dimanapun berada” itu ujar seorang temanku mengenai diriku. Ya mudah bergaul dengan banyak orang adalah salah satu kelebihan yang aku miliki. Aku membuka luas pintu pertemanan karena satu hal.

Agar aku bisa menyukai Jakarta.

Loh kok bisa begitu?

Dari dahulu aku tidak menyukai Jakarta, aku tidak pernah berkeinginan untuk mencari pekerjaan bahkan bekerja di Jakarta. Aku menyukai kota kecil sebagai tempat bekerja bahkan aku pernah tinggal di sebuah pulau yang jauh dari mana-mana selama satu tahun untuk bekerja. Bagiku cukuplah ibukota ini tempat bertugas, ataupun mengunjungi teman/saudara.

Sejak aku tidak memperpanjang masa kontrak bekerja di pulau tersebut dikarenakan tidak setujunya orang tuaku bekerja di sana. Terpaksalah aku mencari pekerjaan di ibu kota ini. Itupun atas keinginan orang tuaku.

Makanya satu-satunya jalan agar aku menyukai tempat ini adalah dengan memiliki sebanyak-banyaknya teman.

Berbagai komunitas aku ikuti agar bisa punya kenalan banyak, sebut saja komunitas relawan, komunitas traveler, komunitas penulis, komunitas sastra hingga komunitas profesi. Dengan mengikuti beragam komunitas itu, tentu saja akan ada acara kumpul-kumpul atau meet up.

Berbagai kegiatan aku ikuti selama aku sehat, mampu, dan mengetahui transportasi apa yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan. Sehingga setiap akhir pekan aku hampir tidak pernah ada di kost. Selalu saja ada beragam aktivitas yang aku lakukan.

Oiya semua yang aku lakukan tentu saja hal-hal yang bermuatan positif.

Jakarta menawarkan banyak hal, baik yang positif maupun yang negatif.

Baik itu kegiatan yang memiliki misi, maupun acara-acara nongkrong yang menghambur-hamburkan uang.

Nah aku kurang suka kalau nongkrong di sebuah coffee shop yang cuma ngobrol ngalor ngidul tidak jelas hingga larut malam tiba.

Kini aku menjadi orang pemilih dalam berteman. Banyak pelajaran mengenai pertemanan selama aku tinggal di Jakarta ini. Aku telah menyingkirkan orang-orang yang kira membawa hal yang kurang baik dalam hal pertemanan.

Aku menyeleksi teman-teman yang ada di ring 1 ku yang bisa men-support-ku ketika aku dalam suka maupun duka.

Status Single yang Tentu Saja Jadi Bahan Pembicaraan Banyak Orang

status single yang dipertanyakan banyak orang

Ya statusku masih sendiri selama lima tahun ini. Jangan tanya katanya anak gaul kok ga bisa punya pasangan? Aku mengenal beberapa pria yang bahkan pernah dekat denganku tanpa kelanjutan setelahnya.

Jangan tanya alasannya kenapa. Berbagai alasan pribadi datang dan pergi seiring berjalannya waktu.

Aku menikmati kondisi sekarang ini dengan beragam orang yang aku temui. Tapi aku tertekan dengan tekanan-tekanan keluarga yang sellau menjodohkanku dengan orang lain yang belum aku kenal dan entah datang dari mana sebelumnya.

Bukannya aku menolak, jika orang baru itu datang dengan baik-baik tentu saja penerimaanku juga baik. Tapi kenal juga belum, namun sudah berani mendoktrin, mendikte, bahkan cara berkenalan yang baik saja tidak bisa.

Untuk apa dipaksakan.

Kondisiku selalu pada

Seseorang menyukaiku namun aku tidak, dan aku menyukai seseorang namun dia tidak

Sedih amat ya kesannya. Ya kenyataannya memang begitu. Aku rasakan juga akhirnya patah hati di ibukota, move on nya lamaaaaaaaa. Lebih lama dari aku putus cinta dengan mantanku dahulu.

Kenapa lama? Karena orang ini begitu baik, spesial, dan pintar di mataku. Aku harus berjuang sendiri, aku harus mencari tau sendiri apa yang terjadi setelah kita dekat tapi tidak ada kelanjutan lagi setelahnya. Untuk alasan itu, biarlah hanya aku dan beberapa teman dekatku yang tau.

Cerita Anak Rantau: Kejamnya Ibukota itu Jadi Pelajaran Hidup

Nah beginilah ceritaku menjadi anak rantau selama di Jakarta dan berharap tahun depan aku sudah pindah kota agar kehidupanku menjadi lebih baik dalam banyak hal.

Memang, cerita anak rantau mungkin gak semuanya sepertiku. Kejamnya ibukota bisa jadi pelajaran hidup yang bikin kita makin kuat. Namun bisa juga malah semakin memperburuk.

Semua kembali ke masing-masing yang menjalani, ya kan? Kembali pada sudut pandang anak rantau itu. Namun, aku pribadi yakin, kehidupanku akan baik-baik saja… pada waktunya.

Leave a Reply