Di zaman di mana layar ponsel dan koneksi internet ada di ujung jari, bukan hal yang aneh jika anak-anak (atau bahkan orang dewasa) sulit lepas dari gadget. Tapi, bagaimana jika ada tempat yang benar-benar mengajak orang-orang melupakan sejenak gawainya dan “kembali ke dunia nyata”? Itulah ide dasar dari Kampung Lali Gadget (KLG), sebuah inisiatif edukatif dan budaya di Sidoarjo yang mengajak anak, keluarga, sekolah, dan masyarakat menjelajahi dunia permainan tradisional, alam, serta nilai-nilai sosial.
Di balik gagasan itu, berdirilah sosok muda penuh idealisme: Achmad Irfandi. Dia berhasil membawa KLG ke panggung nasional, termasuk dengan menjadi salah satu penerima SATU Indonesia Awards 2021. Dalam artikel ini, kita akan membedah perjalanan Desa Lali Gadget, profil Irfandi, seluk-beluk SATU Indonesia Awards, serta dampak dan tantangan yang mengiringi gerakan “lali gadget” ini.
Baca juga: Kisah Alvinia Christiany dan Temanautis dalam Mendapatkan SATU Indonesia Awards
Sekilas tentang SATU Indonesia Awards
Sebelum kita menyelam ke Kampung Lali Gadget dan peran Achmad Irfandi, penting untuk memahami apa itu SATU Indonesia Awards.
SATU Indonesia Awards adalah sebuah penghargaan yang diselenggarakan oleh Astra melalui program Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU). Tujuannya adalah memberikan apresiasi kepada individu atau kelompok muda (biasanya di bawah usia tertentu) yang punya inisiatif positif dan berdampak sosial di masyarakat. Penerima penghargaan ini dianggap sebagai inspirator yang telah menggerakkan perubahan konkret dalam berbagai bidang, pendidikan, lingkungan, konservasi budaya, ekonomi kreatif, dan lain-lain.
Penghargaan ini bukan sekadar piala. Selain prestise dan pengakuan nasional, penerimanya biasanya mendapat akses jaringan, dukungan publikasi, dan peluang kolaborasi dengan pihak lain (lembaga, korporasi, media) agar programnya bisa tumbuh dan lestari.
Saat Achmad Irfandi menerima penghargaan ini di 2021 untuk kategori Penggerak Konservasi Pendidikan lewat Kampung Lali Gadget, itu menjadi titik pengakuan publik bahwa ide “melupakan gadget lewat dolanan tradisional” punya bobot dan potensi luas.
Oleh karena itu, penghargaan ini punya peran signifikan sebagai “sinyal” bahwa gerakan seperti KLG bukan sekadar aktivitas lokal kecil, melainkan ide yang patut diperhatikan di level nasional.
Baca juga: Sosok Wanita Menginspirasi – Anjani Sekar Arum
Main Tanpa Sinyal: Filosofi Seru di Balik Kampung Lali Gadget
Kampung Lali Gadget berlokasi di Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Nama “Lali Gadget” sendiri punya makna yang dalam: “lali” berarti “lupa” dalam bahasa Jawa, sementara “gadget” merujuk ke perangkat digital modern. Jadi, secara harfiah, ide ini mengajak orang untuk “lupa gadget”, sementara waktu, dan kembali menjelajahi dunia nyata, bermain bersama, berbagi, dan berinteraksi secara langsung.
Kampung Lali Gadget diprakarsai sejak 1 April 2018 oleh Achmad Irfandi dan timnya, dengan semangat untuk menghadirkan ruang aman dan menyenangkan bagi anak-anak agar tak sepenuhnya tergantung pada gadget.
Salah satu motivasi awal pendirian adalah keresahan terhadap fenomena anak-anak yang makin lekat pada ponsel dan seringkali kehilangan kesempatan bermain fisik atau interaksi sosial. Meski mungkin di kampungnya belum terjadi kasus kecanduan parah, Irfandi bergerak preventif agar generasi muda tidak “terjebak” ke dalam ketergantungan digital.
Fasilitas dan Bentuk Aktivitas

Menurut catatan resmi Jadesta (program desa wisata Kemenparekraf), fasilitas dasar di Kampung Lali Gadget meliputi: area parkir, balai pertemuan, kamar mandi umum, kios souvenir, fasilitas kuliner, musala, area outbound, spot foto, dan tempat makan.
Tapi fasilitas itu hanyalah pijakan; yang paling menarik adalah ragam aktivitas dan permainan yang mereka selenggarakan. Beberapa di antaranya:
- Permainan tradisional: seperti dakon (congkak), gasing, egrang, suwit, petak umpet, gobak sodor, lompat tali, dan masih banyak jenis permainan klasik lainnya.
- Permainan tematik & alam: ada tema air, pasir, tanah, daun, misalnya membuat kolase dari daun, bermain lumpur, mencari bahan alam untuk kreasi, serta eksplorasi alam sekitar.
- Keterlibatan langsung menciptakan mainan: anak-anak diajak membuat alat permainan dari bahan alami di sekitar, seperti bambu, kayu, pelepah pisang, batang tanaman, bahan daur ulang, dsb.
- Kegiatan edukasi non-formal: selain bermain, ada aktivitas seni, pertunjukkan budaya, cerita rakyat, pelatihan keterampilan tangan, berkebun, mengenal flora-fauna lokal.
- Outbound & kegiatan kelompok: tantangan fisik, kerja tim, permainan kolaboratif agar terjadi interaksi sosial, penguatan rasa kebersamaan.
- Event dolanan massal & paket kunjungan sekolah: KLG membuka paket wisata edukatif untuk sekolah-sekolah, sehingga siswa bisa merasakan pengalaman di luar ruang kelas dan gadget.
Beberapa pengunjung melaporkan bahwa ketika mereka berkunjung, anak-anak begitu asyik bermain sampai “lupa pegang HP”.
Filosofi dan Nilai Inti
Dari sekian banyak aktivitas, terlihat tiga nilai inti yang dibawa KLG:
Konservasi budaya & melestarikan permainan tradisional
Banyak permainan klasik mulai dilupakan generation ke generation. KLG menjadi “rumah” untuk melestarikan dan merevitalisasi dolanan tradisional agar anak-anak tidak hanya mengenal gadget, tapi juga akar budaya mereka sendiri.
Pendidikan non-formal dan pengembangan karakter
Lewat bermain, anak-anak belajar kolaborasi, kepemimpinan, empati, rasa ingin tahu, dan kedekatan dengan lingkungan. Kegiatan non-formal ini menyasar aspek afektif dan psikomotorik, bukan sekadar kognitif.
Detoks digital & re-posisi hubungan manusia dengan teknologi
Ide lali gadget bukan berarti anti-teknologi. Melainkan memberikan ruang agar gadget tidak menjadi satu-satunya pilihan hiburan atau media berinteraksi. Anak-anak perlu merasakan pengalaman nyata, gerak, kontak sosial langsung, dan kreativitas manual.
Secara ringkas, KLG ingin menyeimbangkan dunia digital dengan dunia nyata, agar generasi baru punya “kemampuan dua dunia”: memanfaatkan teknologi, tapi tetap menghargai kehidupan nyata yang sederhana dan penuh interaksi manusiawi.
Perjalanan Achmad Irfandi: Dari Ide ke Implementasi

Achmad Irfandi adalah sosok muda asal Desa Pagerngumbuk, Wonoayu, Sidoarjo yang punya kepekaan terhadap fenomena sosial di sekitarnya. Dia menyadari bahwa meskipun di lingkungannya belum nampak kecanduan gadget ekstrem, tren gadgetisasi makin tak terbendung. Ia memutuskan untuk bertindak preventif agar generasi di desanya tetap “terhubung ke dunia nyata”.
Awalnya, Irfandi dan beberapa teman melakukan kegiatan literasi sederhana: mewarnai, membaca, mendongeng untuk anak-anak. Seiring waktu, kegiatan ini berkembang menjadi “Dolanan Tanpo Gadget”, sesi bermain tradisional tanpa gadget, dan kemudian berubah menjadi kampung tematik yang lebih sistematis: Kampung Lali Gadget.
Pada periode awal, mereka melibatkan anak-anak dari tiga sekolah dasar di sekitar dan menarik puluhan sampai ratusan peserta. Untuk memastikan kesinambungan, mereka memutuskan menyelenggarakan aktivitas secara berkala (dua bulan sekali) agar tidak sekadar acara satu kali saja.
Pandemi COVID-19 sempat “memaksa” jeda, tetapi Irfandi tetap menjaga semangat. Ia melakukan pertemuan terbatas akhir pekan, mencoba model kegiatan yang bisa berjalan meski dalam kondisi terbatas.
Pembentukan Yayasan & Model Keuangan
Pada 2020, untuk memperkuat struktur organisasi, dibentuk Yayasan Kampung Lali Gadget.
Salah satu tantangan utama adalah kebergantungan pada donasi; Irfandi ingin agar KLG bisa mandiri secara finansial. Oleh karena itu, mereka menerapkan model subsidi silang: anak lokal (anak desa sekitar) tetap bisa gratis atau dengan biaya minimal, sementara sekolah atau pengunjung luar mengenakan kontribusi.
Pendapatan tersebut digunakan untuk operasional (sewa lahan, pembangunan pendopo, pengadaan alat permainan, biaya relawan, pemeliharaan fasilitas). Irfandi sendiri awalnya menggunakan uang pribadi, menghasilkan dari usaha kecil, hingga menjual produk lokal sebagai tambahan modal.
Di 2021, mereka membangun pendopo sebagai ruang inti kegiatan, berukuran sekitar 12 × 10 meter, di atas lahan yang disewa dari paman Irfandi.
Penghargaan & Pengakuan: SATU Indonesia Awards 2021
Salah satu tonggak signifikan dalam perjalanan Irfandi adalah ketika namanya terpilih sebagai penerima SATU Indonesia Awards 2021 dalam kategori Penggerak Konservasi Pendidikan melalui Kampung Lali Gadget. Penghargaan itu tidak hanya simbol prestise, tapi juga memperluas jaringan, membuka peluang kolaborasi dan perhatian media.
Setelah penghargaan ini, KLG semakin dikenal luas, mendapat dukungan dari lembaga, bahkan mendapat kolaborasi seperti dengan PLN Distribusi Jawa Timur untuk bantuan dan publikasi.
Dampak, Replikasi & Ekspansi
Dalam perjalanan operasionalnya, KLG sudah menyentuh ribuan anak dan menyebarkan permainan tradisional yang mungkin sudah hampir terlupakan. Menurut penelitian The Role of Kampung Lali Gadget in Developing Children’s Creativity, KLG efektif dalam mengembangkan kreativitas anak lewat permainan tradisional dan aktivitas kreatif menggunakan material lokal.
Terdapat pula kabar bahwa model KLG sudah mulai diadopsi oleh beberapa daerah lain dengan branding berbeda, misalnya di Probolinggo (Jawa Timur), Demak (Jawa Tengah), Tangerang Selatan (Banten).
Irfandi berharap bahwa setiap desa bisa punya ruang bermain semacam KLG agar anak-anak punya alternatif nyata selain gadget.
Bagaimana Kampung Lali Gadget Mempengaruhi Anak & Komunitas

Buku penelitian The Role of Kampung Lali Gadget in Developing Children’s Creativity menyebutkan bahwa ketika anak-anak bermain di KLG, mereka terlibat dalam aktivitas menciptakan alat permainan sendiri (menggunakan bahan alami), merancang strategi permainan, berimprovisasi, dan bekerjasama. Ini memancing berpikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah (misalnya: “bagaimana membuat egrang dari bambu, agar kuat dan seimbang?”).
Alih-alih bermain dengan aplikasi yang sudah jadi rangkaian instruksi, di KLG anak diajak “membangun” sendiri permainan dan menyesuaikan aturan bersama teman, sebuah proses kreatif langsung.
Interaksi Sosial & Karakter
Karena permainan dilakukan secara kelompok atau berpasangan, anak-anak belajar bekerja sama, mengomunikasikan ide, toleransi antar teman, dan menyelesaikan konflik kecil saat bermain (misalnya saat ada perbedaan aturan).
Selain itu, mereka belajar bersabar, bergiliran, menghargai teman yang kalah, dan sukacita dalam keberhasilan kolektif. Aspek-aspek ini sulit muncul kalau anak hanya berinteraksi lewat layar sendirian.
Keterhubungan Alam & Lingkungan Sekitar
Bermain di sawah, tanah, kebun, lumpur, atau menggunakan bahan alami membuat anak lebih menghargai lingkungan sekitar. Mereka belajar bahwa alam punya nilai, bahwa bahan lokal punya potensi kreatif, dan bahwa tidak selalu alat mahal yang dibutuhkan untuk bermain bermakna.
Pelestarian Budaya & Warisan Lokal
Dengan bermain dolanan tradisional, anak punya jembatan ke masa lalu, melihat bagaimana generasi dulu bersenang-senang, menghargai benda sederhana, dan menjaga kearifan lokal. KLG menjadi media supaya budaya lokal tidak lenyap di tengah arus modernisasi.
Dampak pada Komunitas & Kesadaran Orang Tua
KLG juga punya dampak sosial yang lebih luas:
- Orang tua menjadi lebih sadar bahwa gadget bukan satu-satunya sumber hiburan atau pendidikan. Dalam beberapa event, KLG juga menyelenggarakan sesi parenting agar orang tua tahu cara mendampingi anak agar tidak tergantung teknologi.
- Beberapa penduduk desa diberdayakan sebagai pengelola, fasilitator, pembuat alat permainan atau souvenir lokal, sehingga berkembang ekosistem ekonomi kreatif lokal.
- Sekolah-sekolah luar daerah hadir untuk “study visit” ke KLG, memperluas jaringan edukatif dan memperkenalkan ide serupa di tempat mereka sendiri.
Lupa Gadget, Ingat Bahagia
Kampung Lali Gadget bukan sekadar tempat bermain anak-anak. Ia adalah manifestasi idealisme bahwa dalam dunia yang makin digital, kita tetap butuh ruang nyata untuk menyentuh alam, merasakan interaksi manusiawi, menghargai budaya lokal, dan mengasah kreativitas tanpa layar sentuh.
Melalui sosok Achmad Irfandi, ide ini diperkuat menjadi gerakan sosial yang nyata, yang akhirnya mendapat pengakuan lewat SATU Indonesia Awards 2021. Penghargaan itu bukan sekadar simbol, melainkan pijakan agar KLG bisa menjangkau lebih jauh, menarik kolaborasi, dan menginspirasi peniru.
Tentunya, perjalanan KLG diwarnai tantangan: keberlanjutan finansial, pemeliharaan fasilitas, pemeliharaan relawan, dan adopsi di daerah lain. Tapi semua itu bisa dihadapi jika tujuan kita jelas dan semangat tetap menyala.
Di akhirnya, Kampung Lali Gadget mengajarkan satu hal penting: teknologi bukan musuh, tetapi kita perlu menjaga agar hubungan manusia dengan alam dan budaya tidak hilang di balik layar. Kita bisa “lali gadget” sejenak, untuk menemukan sukacita bermain bersama, menciptakan kenangan nyata, dan mewariskan budaya kepada generasi depan.
Semoga artikel ini bisa menginspirasi pembaca untuk sadar bahwa meski gadget dan teknologi penting, kita tetap butuh “waktu tak terhubung” agar hati dan jiwa tetap terhubung dengan sesama.










