Hidup

Gelegar Guntur dan Kenangan dari Papa yang Tiba-Tiba Muncul… Ini Pembelajaran dari Beliau

Mari kita balik sejenak ke masa kecil. Ada yang pernah takut petir? Sayangnya, saya salah satunya. Waktu itu saya hobi banget nutupin telinga setiap kali ada gelegar guntur di luar. Nggak suka, soalnya ngagetin dan nakutin. Kadang bisa ampe ikut teriak atau nangis.

kenangan dari papa

Sayangnya, almarhum Papa dulu paling nggak suka liat anak-anaknya penakut begitu. Beberapa kali beliau pernah memaksa tangan saya agar tidak menutupi kuping saat guntur menggelegar.

Jujur, dulu saya benci sekali dipaksa begitu. Namanya juga anak kecil. Wajar dong, takut sama petir?

Berkat paksaan beliau waktu itu, akhirnya saya mulai membiasakan diri mendengar gelegar guntur tanpa harus menutup telinga. Masih berjengit sesekali karena kaget, sih. Tapi lama-lama udah nggak pake jerit-jerit atau nangis lagi.

‘Geledek-geledek’ – Lain yang Tak Kalah Berisik, Meledek-ledek

Sama seperti ajaran-ajaran Papa lainnya, butuh waktu lama bagi saya untuk akhirnya memahami yang satu ini.

Ya, geledek atau gelegar guntur memang masih bikin kaget dan mengganggu saya. Namun, nggak ada pilihan selain menghadapinya.

Lalu, bagaimana dengan ‘geledek-geledek’ lain yang tak kalah berisik, meledek-ledek?

Nggak suka keramaian gila-gilaan? Ya, jangan tinggal di kota besar kayak Jakarta. Memangnya gimana caramu bisa menyuruh mereka semua diam?

kenangan dari papa

Keramaian dalam hidup kita – ledek meledek, caci, hina dan lainnya. Kita kadang hanya perlu seperti yang saya pelajari dalam kenangan dari papa – ABAIKAN!!!

Begitu juga dengan suara-suara sumbang yang kerap mengganggumu. Mau itu kritikus usil hingga mulut asal nyinyir. Kamu selalu punya pilihan dalam menghadapi mereka semua.

Enaknya yang mana, ya? Bales teriakin mereka semua, kayak anak kecil yang selalu nangis tiap kali ada petir? Yakin nggak bakalan capek?

Tutup kuping dan menghindar, dengan risiko kehilangan banyak hal, yang jangan-jangan sebenernya juga nggak jelek-jelek amat?

Kenangan dari Papa yang Kukenang

Gelegar guntur di Sabtu siang yang berhujan, di luar jendela sebuah coffee-shop di Jakarta menjadi inspirasi tulisan pendek ini. Kali ini, bukan lagi rasa takut yang kudapat. Hanya rasa syukur, bercampur sedih.

Terima kasih atas ajaranmu, Pa. Aku akan mencoba lebih berani menghadapi hidup ini.

RR.

2 Comments

  1. Himawan Sant 13 Mei 2018
    • Randomer 15 Mei 2018

Leave a Reply